Sabtu, 18 Januari 2014

Fungsi Agama

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi".[1]. Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.

1. Cara Beragama
Berdasarkan cara beragamanya:

Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragama nenek moyang, leluhur, atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pemeluk cara agama tradisional pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan, dan tidak berminat bertukar agama.

Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.

Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.

Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) di bawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.

Ada beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan manusia, antara lain adalah :
Karena agama merupakan sumber moral
Karena agama merupakan petunjuk kebenaran
Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah metafisika.
Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa sebagaimana firman Allah dalam Q. S. al-Nahl (16) : 78

Godaan dan rayuan daridalam diri manusia dibagi menjadi dua bagian, yaitu
Godaan dan rayuan yang berysaha menarik manusia ke dalam lingkungan kebaikan, yang menurut istilah Al-Gazali dalam bukunya ihya ulumuddin disebut dengan malak Al-hidayah yaitu kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada hidayah ataukebaikan.
Godaan dan rayuan yang berusaha memperdayakan manusia kepada kejahatan,yang menurut istilah Al-Gazali dinamakan malak al-ghiwayah, yakni kekuatan-kekuatan yang berusaha menarik manusia kepada kejahatan
Disinilah letak fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.

2. Fungsi Agama Kepada Manusia
Dari segi pragmatisme, seseorang itu menganut sesuatu agama adalah disebabkan oleh fungsinya. Bagi kebanyakan orang, agama itu berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup. Tetapi dari segi sains sosial, fungsi agama mempunyai dimensi yang lain seperti apa yang dihuraikan di bawah:

- Memberi pandangan dunia kepada satu-satu budaya manusia.
Agama dikatankan memberi pandangan dunia kepada manusia kerana ia sentiasanya memberi penerangan mengenai dunia(sebagai satu keseluruhan), dan juga kedudukan manusia di dalam dunia. Penerangan bagi pekara ini sebenarnya sukar dicapai melalui inderia manusia, melainkan sedikit penerangan daripada falsafah. Contohnya, agama Islam menerangkan kepada umatnya bahawa dunia adalah ciptaan Allah SWTdan setiap manusia harus menaati Allah SWT

-Menjawab pelbagai soalan yang tidak mampu dijawab oleh manusia.
Sesetangah soalan yang sentiasa ditanya oleh manusia merupakan soalan yang tidak terjawab oleh akal manusia sendiri. Contohnya soalan kehidupan selepas mati, matlamat  menarik dan untuk menjawabnya adalah perlu. Maka, agama itulah berfungsi untuk menjawab soalan-soalan ini.

- Memberi rasa kekitaan kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukkan kelompok manusia. Ini adalah kerana sistem agama menimbulkan keseragaman bukan sahaja kepercayaan yang sama, malah tingkah laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.

– Memainkan fungsi kawanan sosial.
Kebanyakan agama di dunia adalah menyaran kepada kebaikan. Dalam ajaran agama sendiri sebenarnya telah menggariskan kod etika yang wajib dilakukan oleh penganutnya. Maka ini dikatakan agama memainkan fungsi kawanan sosial

3. Fungsi Sosial Agama
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat.

4. Fungsi Integratif Agama
Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.

5. Fungsi Disintegratif Agama.
Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain

6. Tujuan Agama
Salah satu tujuan agama adalah membentuk jiwa nya ber-budipekerti dengan adab yang sempurna baik dengan tuhan-nya maupun lingkungan masyarakat.semua agama sudah sangat sempurna dikarnakan dapat menuntun umat-nya bersikap dengan baik dan benar serta dibenarkan. keburukan cara ber-sikap dan penyampaian si pemeluk agama dikarnakan ketidakpahaman tujuan daripada agama-nya. memburukan serta membandingkan agama satu dengan yang lain adalah cerminan kebodohan si pemeluk agama

Beberapa tujuan agama yaitu :
Menegakan kepercayaan manusia hanya kepada Allah,Tuhan Yang Maha Esa (tahuit).
Mengatur kehidupan manusia di dunia,agar kehidupan teratur dengan  baik, sehingga dapat mencapai kesejahterahan hidup, lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Menjunjung tinggi dan melaksanakan peribadatan hanya kepada Allah.
Menyempurnakan akhlak manusia.
Menurut para peletak dasar ilmu sosial seperti Max Weber, Erich Fromm, dan Peter L Berger, agama merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bagi umumnya agamawan, agama merupakan aspek yang paling besar pengaruhnya –bahkan sampai pada aspek yang terdalam (seperti kalbu, ruang batin)– dalam kehidupan kemanusiaan.

sumber
MH, Amin Jaiz, Pokok-pokok Ajaran Islam, Korpri Unit PT. Asuransi Jasa Indonesia Jakarta, 1980
Monier Williams, 1899, A Sanskrit English Dictionary. Oxford University Pressa



Rabu, 15 Januari 2014

Deskriminasi Sosial

Pengertian Diskriminasi
Menurut PBB, diskriminasi diartikan sebagai “diskriminasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya”.
Sedangkan Theodorson & Theodorson (1979:115-116) mengartikan diskriminasi sebagai “…adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial”.
Pengertian kedua definisi tersebut tidak jauh berbeda. Bahwa di sana ada membedakan tindakan berdasarkan atribut-atribut tertentu. Definisi tersebut juga menyiratkan bahwa diskriminasi bukanlah monopoli kaum dominan dan mayoritas terhadap kaum subordinat dan minoritas. Diskriminasi dapat dilakukan oleh siapa saja kepada siapapun juga.

Pada dasarnya diskriminasi tidak terjadi begitu saja, akan tetapi karena adanya beberapa faktor, antara lain:
a,Adanya persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang kehidupan.
b.Adanya tekanan dan intimidasi yang biasanya dilakukan oleh kelompok yang dominan terhadap kelompok atau golongan yang lebih lemah.
c.Ketidak berdayaan golongan miskin akan intimidasi yang mereka dapatkan membuat mereka terus terpuruk dan menjadi korban diskriminasi.

Macam Diskriminasi yang Terjadi dalam Keragaman
Macam – macam diskriminasi dalam keragaman masyarakat antara lain diskriminasi terhadap:
  Suku,bangsa, ras dan gender
  Agama dan keyakinan
  Ideologi dan politik
  Adat dan Kesopanan
   Kesenjangan ekonomi
   Kesenjangan sosial

Proses terjadinya pelapisan sosial ada dua,yaitu :
 Pelapisan sosial yang tejadi dengan sendirinya. Adapun orang-orang yang menduduki lapisan tertentu dibentuk bukan karena kesenjangan yang disusun sebelumnya oleh masyarakat itu,melainkan berjalan secara alamiah dengan sendirinya.Pengakuan-pengakuan terhadap kekuasaan dan wewenang tumbuh dengan sendirinya.

 Pelapisan sosial yang terjadi dengan sengaja ditujukan untuk mengejar tujuan
bersama. Didalam sistem plapisan sosial ditentukan secara jelas dan egas adanya wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang.

Sebagai contoh misalnya orang Tionghoa di Indonesia bersama-sama dengan orang Arab, India, pada masa Kolonial Belanda digolongkan sebagai golongan Timur Asing, kemudian pada-masa Kemerdekaan mereka semuanya apabila mau mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan serta pada negara R.I. dapat dianggap sebagai Warga Negara Indonesia. (lihat UUD 45, Bab X, pasal 26, ayat 1). Namun perlakuannya terhadap mereka ada perbedaan. Bagi keturunan Arab, karena agamanya sama dengan yang dipeluk suku bangsa mayoritas Indonesia, maka mereka dianggap "Pri" [Pribumi] atau bahkan “Asli”, sedangkan keturunan Tionghoa, karena agamanya pada umumnya adalah Tri Dharma (Sam Kao), Budis, Nasrani dan lain-lain.
Keturunan India yang beragama Hindu dan Belanda yang beragama Nasrani, dianggap “Non Pri”. Dengan stikma "Non Pri" tersebut kedudukan mereka yang bukan “pribumi”, terutama keturunan Tionghoa terasa sekali pendiskriminasiannya. Bahkan oleh pemerintah ORBA, tela dikeluarkan beberapa Peraturan Presiden yang menggencet mereka, bahkan dengan politik pembauran yang bersifat asimilasi. Sehingga sebagai etnis mereka tidak boleh eksis.
Untuk menunjang politik yang sangat beraroma rasis itu. Oleh Pemerintah Soeharto telah dikeluarkan beberapa Keputusan Presiden seperti: Pelarangaran Sekolah dan Penerbitan berbahasa Cina; keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Penggantian Nama; Instruksi Presiden No. 14/1967, yang mengatur Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Keturunan Cina. Keputusan Presiden No.240/1967 mengenai Kebijakan pokok yang menyangkut WNI keturunan Asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Thung, 1999: 3-4).
Lucunya dalam era reformati (plesetan dari istilah reformasi). Walaupun Pemerintah Presiden BJ. Habibie sudah memutuskan membatalkan semua peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No.26 tahun 1998; namun anehnya pada tahun 1999, ia malah memberi bintang kehormatan Maha Putra pada dua tokoh Asimilasi dari pihak etnis Tionghoa seperti Junus Jahja dan K. Sindhunata SA. Penghargaan ini memberi kesan bahwa Habibie masih setuju dengan politik asimilasi dari ORBA. Isi Instruksi Presiden No.26 tahun 1998, yang dikeluarkan pada tanggal 16 September 1998, dan ditujukan kepada para Menteri, para pemimpin Lembaga Pemerintah Non Departemen, para pemimpin Kesekretarian Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, dan para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dan Bupati/Walikota Kota Madya, Kepala Daerah Tingkat II. Isinya antara lain, adalah: Pertama mengenai penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijaksanaan, perencanaan program, atau pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan; Kedua memberikan perlakuan dan layanan yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa perlakuan berbeda atas dasar suku bangsa, agama, ras maupun asal usul. Ketiga meninjau kembali, dan menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang selama ini telah ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk dalam pemberian layanan perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan, kesempatan kerja dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerjaan lain, sesuai dengan instruksi Presiden ini; dan sebagainya.
Alasan yang merupakan rasionalisasi bagi mereka yang mendukung politik pembauran asimilasi adalah bahwa jika orang Tionghoa semua sudah tukar nama, bahkan masuk agama Islam, maka tidak akan ada “masalah Cina” lagi sebagai contoh mereka tunjukan kejadian yang sudah terjadi di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina, di kedua negara tersebut orang Tionghoa telah masuk agama Katolik (di Filipina) dan Budis (di Thailand). Sehingga logisnya orang Tionghoa di Indonesia harus masuk Islam, seperti yang telah dilakukan oleh Pak Junus Jahya (Lauw Chuan Tho) yang sejak tanggal 23 Juni 1979 secara resmi telah memeluk agama Islam. Menurut dia orang Indonesia Tionghoa harus masuk Islam, untuk mencegah terulangnya terjadi pembunuh massal (massacre) terhadap mereka di Indonesia, seperti pada permulaan Kemerdekaan R.I dan yang terakhir pada tgl. 13 -15 Mei 1998. Salah seorang eksponen kalangan muda tentang politik asimilasi adalah Soe Hok Gie (adik kandung Dr. Arief Budiman), waktu saya tanya mengapa ia tidak tukar nama? Jawabnya adalah "Pak politik asimilasi ini sudah diselewengkan oleh para Jenderal, sehingga akan menyusahkan orang keturunan Tionghoa!".
Memang dalam kenyataan akibat dari politik asimilasi tersebut, orang keturunan Tionghoa oleh para anti Cina malah lebih didiskriminasikan, Buktinya setelah tukar nama, orang keturunan Tionghoa masih tetap dianggap "Cina". Penyebabnya adalah stereotip yang tetap melekat pada mereka, bahkan diperkuat dengan hukum, untuk didiskrirninasi, seperti diperas, jika hendak mengurus surat di kantor-kantor pemerintah. Mereka didiskriminasi jika mau masuk ke sekolah negeri. Di Universitas negeri mereka yang lulus UMPTN tidak diterima, setelah terlihat pada pas fotonya, karena raut mukanya berciri ras mongoloid Asia Timur. Demikian juga jika mereka mau masuk ke AKABRI. Setelah masa Reformasi perlakuan semacam itu masih terus berlaku sampai sekarang. Memang sifat-sifat stereotip pada orang Tionghoa, sukar sekali dihapuskan, terutama bagi pejabat-pejabat yang hendak memeras. Karena bagi mereka orang Tionghoa itu kaya, sehingga dapat dijadikan sumber keuangan mereka, yang sebagai pegawai negeri gaji bulanannya memang sangat tidak memadai, untuk dapat hidup sebagai layaknya manusia dari negara yang menjunjung tinggi HAM.
Walaupun sejak pemerintahan Habibie, orang dari suku bangsa Tionghoa jika mau sekolah, berdagang, membuat paspor, KTP, masih ada yang diminta mempertunjukan Surat Bukti Kewarganegaran Indonesia (SBKI). Sebagai contoh saya adalah orang keturunan Tionghoa yang sampai pada masa Reformasi adalah penganut politik pembauran yang asimilasi, tetapi sejak mengalami kejadian yang bersifat shock therapy, saya telah beralih ke politik pembauran yang bersifat integrasi yang sinergis.
Kejadiannya adalah pada hari Kamis 21 Januari 1999, jam 15.00, saya telah mendapat undangan dari Ibu Dirjen Kebudayaan, Depdikbud. Prof, Dr. Edi Sedyawati, untuk turut serta dalam sebuah talk show di studio TV RCTI. Temanya adalah hendak mendukung politik pembauran asimilasai dalam rangka memperingati 47 tahun pengesahan "Piagam Asimilasi", yang dicetuskan di Bandungan, Ambarawa, Jawa Tengah pada tanggal 15 Juni 1952 (Tempo, 1986: 351-353). Kejadiannya adalah demikian, setelah didandani, dan berkumpul di ruang tunggu di sebelah studio shooting, tiba-tiba masuk Pak Fadel Muhammad, tokoh GOLKAR, sambil tangan kiri bertolak pinggang dan tangang kanan menunjuk-nunjuk ke langit, ia berkata dengan lantang: “Memang Cina-Cina itu rakus-rakus!!!” Mendengar itu jantung saya terkesiap, lalu saya tanya: “Cina yang mana Pak Fadel???” Jawabnya: “Yah Edy Tansil dan Liem Sioe Liong!” Rupanya Pak Fadel tidak tahu bahwa di ruang itu ada orang Cinanya (Ya saya ini). Segera Ibu Dirjen Kebudayaan mencoba menengahinya. Ujarnya: “Pak Fadel! Pak James Danandjaja adalah keturunan Cina!” katanya. Mendengar itu Pak Fadel menjadi salah tingkah. Untuk menghilangkan suasana yang tak mengenakkan itu, saya lalu bertanya pada Pak Fadel: “Pak Fadel suku bangsa apa?” Jawabannya dengan suara kurang mantap: “saya orang Arab!”. Lanjut saya: “Tak mengapa Pak! Kita semua kan orang Indonesia”. Demikianlah pengalaman saya dalam hubungan antar kelompok [intergroup relation]. Bukan di antara minoritas (Tionghoa) dan mayoritas (Jawa), tetapi dengan sesama minoritas, yang kebetulan minoritas juga yakni Arab. Kejadian ini dapat menggambarkan dengan jelas bahwa Pak Fadel yang seharusnya juga tergolong minoritas, tidak merasa atau sedikitnya tidak mengakui bahwa orang Arab itu juga tergolong minoritas, karena sebagai etnis beragama Islam, ia merasa mayoritas, jadi tergolongnya “pribumi” sehingga dapat menekan orang Indonesia etnis Tionghoa yang memang kedudukan sosial politik adalah tergolong minoritas, yang “non pribumi” apa lagi menurut ia semua orang Tionghoa rakus-rakus seperti Liem Sioe Liong (Sudono Salim) dan Edi Tansil.
Fadel Muhammad merasa kuat kedudukannya, karena etnisnya kebetulan tidak termasuk konglomerat yang bermasalah. la sebenarnya sangat terkabur, karena sebagai penggede GOLKAR, ia merasa tidak tersentuh oleh hukum. Buktinya memang demikian, karena kini walaupun ia sudah dinyatakan usahanya faillite [bangkrut] oleh Jaksa Agung, namun ia masih dapat diangkat menjadi gubernur provinsi Gorontalo. Bukan main! Aneh bin Ajaib keadaan di negara kita ini, karena ternyata hal ini masih dapat terjadi dalam jaman Reformasi ini.
Partisipasi saya dalam talk show saya di RCTI, yang tadinya berniat mendukung politik pembauran dari tipe asimilasi, akhirnya berbalik menjadi mendukung politik pembauran yang bertipe integrasi dari sinergi. Sejak talk show di RCTI tersebut, saya telah mendapat banyak telpon, salah satunya adalah dari mantan murid tari Balet saya dahulu, bernama Kamil Setyadi, yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretaris Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) dengan maksud agar saya bersedia membantu paguyuban mereka.
Dalam rangka reformasi ini saya bersama dengan beberapa pemuka Tionghoa dari segala agama diundang oleh "Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang dibawahi Bakin (Badan Koordinasi Inteligen Negara), untuk dimintai pendapat mengenai izin mempertunjukan Barongsai (Singa) dan Liong (naga) di muka umum pada tahun 1999 itu. Kami semua sangat setuju apabila izin tersebut dikeluarkan, namun karena keadaan keamanan dianggap belum mendukung, maka pelaksanaannya baru pada tahun depan saja. Namun ternyata masyarakat Indonesia, yang terdiri dari suku-suku bangsa lainnya merasa sudah tidak sabar, sehingga DR. Rahayu Supangga Direktur dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta telah mengajak para mahasiswanya untuk mengarak Lian-Iiong dan Barongsai keliling kota Solo, tanpa ada gangguan dari rakyat "Pribumi", yang diantisipasi masih ada yang anti Tionghoa. Sebaliknya usaha berani ini mendapat sambutan meriah dari segenap warga kota Solo dari segala suku bangsa. Yang hadir dalam pertemuan itu antara lain adalah tokoh-tokoh asimilasi, seperti MayJen TNI (Pur) Soenarso dan BrigJen Pol (Pur) Sukisman, seorang Sinolog Mantan Rektor Universitas Dharma Persada, Tokoh Agama Budha Siti Hartati Murdaya, tokoh Muslim Tionghoa H. Junus Jahja, seorang pendukung politik asimilasi yang konsisten.
Selain itu juga wakil-wakil dari instansi pemerintah, HANKAM dan lain-lain. Pada kesempatan itu BrigJen (Purn) Sukisman menyatakan ekskiusnya pada suku bangsa Tionghoa dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah, yang pada masa Reformasi ini dapat digolongkan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena bersifat rasialis. Menurut beliau dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut, bukan karena anti Cina melainkan karena merasa "eman [kasih sayang]" kepada saudara-saudara keturunan Cina, karena mereka dalam sejarah jika ada kekacauan sosial politik, selalu dijadikan kambing hitam dan dibunuh.
Semoga dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut golongan keturunan Tionghoa sudah menyatu padu dengan suku-suku bangsa di mana mereka berdiam. Mendengar pernyataan itu, komentar saya adalah: "Terima kasih banyak Pak Jenderal, namun akibat perasaan eman Bapak telah menyengsaraan orang Indonesia-Tionghoa, karena mereka sejak itu menjadi terpuruk. Mereka dalam prakteknya makin menjadi obyek pemerasan. Jikalau berusaha, harus mendapat "perlindungan" para oknum pejabat tinggi sipil maupun militer. Mereka selalu dijadikan kudatunggangan yang dapat disuruh berusaha sehingga dapat memberi sumbangan kepada para "pelindung"nya, namun jika terjadi kekacauan sosial politik mereka dapat dengan mudah dijadikan kambing hitam, untuk dihukum dicampak ke pulau Nusa Kambangan seperti nasibnya beberapa konglomerat suku bangsa Tionghoa. Dan para penunggangnya dapat terus survive dalam jaman Reformati ini.
Walaupun diskriminasi terhadap pemeluk agama tertentu, sejak masa reformasi ini telah mulai lenyap, tetapi tidak terjadi pada semua agama minoritas. Sejak masa reformasi ini agama minoritas yang telah memperoleh pengakuan sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia adalah agama Konghucu, sehingga salah satu hari rayanya yang dihubungkan dengan agama tersebut, yakni Imlek sejak tahun 2003, telah disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Hari Raya Nasional. Namun di lain pihak ada tuntutan dari agama Minoritas orang Jawa (Kejawen) yang belum terpenuhi aspirasinya beragama.
Dalam Koran KOMPAS , Kamis 10 April 2003 , Halaman 7, ada pernyataan bahwa umat agama tersebut merasa dilecehkan dan dianggap seolah bukan warga Negara Indonesia. Untuk itu Masyarakat Peduli Hak Sipil dan Budaya bersama puluhan aktivis penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME), Rabu 9 April 2003 telah mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka diterima Wakil ketua Komnas HAM Salahudin Wahid. Dalam pernyataan tertulis yang dibacakan wakil mereka Dewi Kanti, disebutkan bahwa para penghayat bukan hanya menghadapi sejumlah piranti hukum, yang melecehkan hak sipil dan budaya, tetapi juga menghadapi pejabat Negara yang menganggap para penghayat seolah bukan sebagai WNI. Sejak lahir para penghayat berhadapan dengan tindakan diskriminatif. Anak-anak pasangan penghayat tidak bisa mendapat surat kenal lahir atau akta kelahiran, dengan alasan pernikahan mereka dianggap tidak sah. Padahal mereka telah melangsungkan pernikahan sesuai dengan adat dan kepercayaan masing-masing. Dinikahkan dengan penuh kasih, direstui orang tua, handai taulan, keluarga dan saksi mereka. Para penghayat juga kesulitan mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), karena tidak mau mengisi kolom agama yang resmi diakui negara. Contoh terakhir perlakuan buruk terjadi atas para penghayat Ajaran Karuhun Urang di Cigujur, Kuningan, Jawa Barat, yang merasa dihina dalam film berjudul Kafir.
Dewi menyesalkan munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang menganulir UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada Mukadinahnya disebutkan berlaku untuk seluruh warga Negara Indonesia. Dalam SKB tersebut, "Dinyatakan tidak berlaku bagi masyarakat Penghayat Kepercayaan." Kelompok Penghayat mendesak Komnas HAM berjuang menghapus semua peraturan yang bersifat diskriminatif. Selain itu juga mendorong terciptanya sebuah UU Catatan Sipil yang menjamin Penghayat menjalankan perkawinan dan mendapatkan hak-hak sipil dan budaya sesuai dengan penghayatannya.
Menghadapi haI ini, Salahuddin Wahid yang saudara kandung Abdurrahman Wahid itu, mengatakan akan memperjuangkan kepentingan mereka: Mereka berhak mendapat hak sebagai WNI dengan status sama dengan yang lain. Dan lagi apa sih untungnya mendiskriminasikan mereka? Bisa dibayangkan getirnya kehidupan anak-anak mereka, yang dianggap anak di luar nikah. Selanjutnya Wahid berpendapat terminology kafir tidak dikenal dalam hidup bernegara. Ini cuma terminologi beragama. Sentimen beragama seperti ini tidak sehat dalam hidup bernegara.
Setelah bertemu dengan beberapa anggota Komnas HAM yang lain, Wahid mengatakan, "Tampaknya sebagian besar anggota Komnas HAM, sepakat memperjuangkan nasib mereka, terutama yang langsung berkaitan dengan unsur HAM mereka. Tapi semua masih tergantung keputusan rapat pimpinan atau rapat pleno Komnas HAM. Mudah-mudahan harapan saya tidak meleset."
Tugas anggota Komnas HAM, masih banyak antara lain adalah mengungkapkan beberapa tragedi kekerasan yang dilakukan bangsa kita terhadap sesamanya. Yang terpenting dan yang masih merupakan misteri adalah Tragedi Kerusuhan 13-15 Mei 1998, di mana lebih dari 1000 orang menjadi korban penganiayaan, pembunuhan, perkosaan dan pembakaran hidup-hidup. Walaupun kelihatannya motifnya adalah rasialis karena banyak korban adalah orang Indonesia suku bangsa Tionghoa, tetapi korban kekejaman selain mereka, ada ratusan korban dari suku-suku bangsa lain, yang diprovokasi untuk menjarah di mal Yogya, yang terletak di Kali Malang Jakarta Timur, setelah mereka masuk untuk menjarah isinya, mereka ini kemudian oleh orang-orang yang bertubuh tegap dan potongan rambut cepak, bersepatu lars kemudian dikunci dari luar gedung, dan dibakarnya hidup-hidup.
Kasihan orang terjebak kejahatan ini yang terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak kemudian dijadikan tumbal oleh entah siapa. Karena merasa malu sebagai penjarah, tidak ada keluarganya yang berani membelanya. Menurut ibu Ita F. Nadia, yang pada malam tanggal 13 Mei 1998, atas ajakan Romo Sandiawan seorang pendeta Katolik, telah mengadakan peninjauan di tempat terjadinya pembunuhan dan perkosaan tersebut. Menurut pengakuan ibu Ita pada seminar Peringatan 5 tahun Peristiswa Mei 1998 di restoran Nelayan, di Jalan Karang Bolong, Ancol Barat. Jakarta Utara, yang diadakan oleh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa.
Berdasarkan pengamatan dengan mata kepalanya sendiri, ia telah melihat ada dua sosok mayat dari dua remaja perempuan Tionghoa, yang ditutupi dengan kertas plastik hitam. Waktu ia singkap tutup tersebut terlihat dua mayat tak berbusana dilumuri darah, dengan putting-putting susu mereka dipotong dengan gunting. Jadi berlainan dengan keterangan para pejabat pemerintahan Habibie (termasuk menteri urusan wanita Tuti Alawiyah), yang mendatakan tidak ada permerkosaan, karena buktinya tidak ada wanita Tionghoa yang bersedia untuk menjadi saksi untuk ditayangkan di televisi. Sesungguhnya perkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan Indonesia etnis tionghoa. ltu benar-benar ada, jadi bukan isapan jempoI saja.
Hasil penelitian di tempat itu kemudian oleh Komisi NasionaI Anti Kekerasan Terhadap Perempuan telah diserahkan yang berwajib, dalam bentuk Dokumen Laporan No.3, tetapi dihilangkan entah oIeh siapa. Bersamaan dengan itu mereka juga ke PBB di New York untuk melaporkan masalah pelanggaran HAM yang dahsyat serta menggiriskan itu. Tetapi di dalam negeri selama 5 tahun ini, masih dianggap tidak ada oleh yang berkuasa.
Menurut Salahudin Wahid , yang juga hadir dalam Seminar Peringatan itu, mengatakan bahwa Komnas HAM sedang berusaha meneliti untuk mengetahui dengan pasti apakah peristiwa tragedi tersebut memang betul-betul terjadi, siapa yang bertanggungjawab, siapa saja korbannya, dan apa yang harus dilakukan agar hal itu tidak terulang Iagi di masa depan. Selanjutnya menurut Wahid, memang masalah ini adalah masalah pelik, karena terkait juga dengan pergulatan politik di Indonesia. Dan Komnas HAM, harus hati-hati agar tidak terseret ke dalam kancah politik tersebut, namun menurutnya hal itu perlu diungkapkan, karena berdasarkan fakta-fakta. Yang mutlak harus diketahui, karena jika tidak, kebenaran tentang “kesalahan” masa lalu, maka kesalahan tersebut sangat mungkin terulang kembali. Tentunya bangsa ini seperti keledai yang terperosok dalam lubang yang sama (Salahudin Wahid dalam KOMPAS, Rabu 14 Mei 2003, HIm. 4).
Masalah ini akan terpecahkan apabila mendapat dukungan dari DPR. Sebagai jawaban atas pertanyaan Salahudin Wahid apakah DPR dapat memberi tanggapan yang positif, karena beberapa tahun yang lalu DPR telah menyatakan pada Peristiwa Mei 1998 tidak ada pelanggaran HAM. Sebagai tanggapan pertanyaan tersebut Alvin Lie, anggota DPR dari fraksi Reformasi, mengatakan bahwa selama anggota DPR yang sekarang masih bercokol di sana, masalah ini akan tetap dipetieskan.
Peraturan-peraturan bersifat diskriminasi yang diwariskan mengenai suku bangsa Tionghoa dari ORDE BARU masih banyak, dan sukar untuk dapat dihapuskan, karena menurut Menteri Kehakiman dan HAM, kedudukan peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah-pemerintah masa Reformasi, kedudukannya, kalah dengan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru. Akibatnya dapat diremehkan oleh pejabat-pejabat golongan “Hitam” untuk tetap memeras orang-orang yang memerlukan jasa dari mereka. Semua ini dapat terus berlaku, karena sebagai suku bangsa yang minoritas, orang keturunan Tionghoa, belum mempunyai kedudukan sosial, politik, dan hukum yang mantap dalam struktur sosial masyarakat Indonesia (lihat Suparlan,1999). Oleh karenanya para pemimpin mereka harus berjuang terus untuk menghapus peraturan-peraturan yang diskriminatif itu, sehingga mereka tidak dijadikan kambing hitam, apabila terjadi pergolakan sosial, politik maupun ekonomi, seperti masa-masa lalu.
Sebenarnya kepedihan ini bukan saja dirasakan oleh suku bangsa Tionghoa saja tetapi juga oleh etnis-etnis yang lain, walaupun dalam gradasi yang lebih kurang berat. Mereka itu adalah sub suku bangsa Bali, seperti orang Trunyan, yang agama “asli” yang bukan bersifat Hindu Majapahit, selalu mendapat tekanan dari suku bangsa Bali Hindu, yang mayoritas itu. Demikian juga etnis Batak, juga dilecehi, karena anak-anak mereka waktu hendak mendaftarkan kelahiran anaknya di kantor Catatan Sipil, tidak boleh mencantum nama marganya.

Daftar Kepustakaan
  1. Suparlan, Parsudi, 1999. Masyarakat Majemuk dan Hubungan antar Suku Bangsa, Masalah Cina. (I. Wibowo ed.). Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, bekerja sama dengan Pusat Studi Cina. Hlm, 149- 173.
  2. Tempo, 1986. Apa dan Siapa: Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986. Jakarta: Percetakan PT Temprint.
  3. Theodorson, George A, and Achilles G. Theodorson, 1979. A Modern Dictionary of Sociology. New York, Hagerstown, San Francisco, London: Barnes & Noble Books.
  4. Thung Ju Lan, 1999. Tinjauan Kepustakaan tentang Etnis Cina di Indonesia, Retrospeksi dan Rekonteskstualisasi Masalah Cina (I. Wibowo, ed.). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, bekerjasama dengan Pusat Studi Cina. Hlm. 3-23.
  5. United Nations Commission on Human Rights, 1949. The Main Types and Causes of Discrimination, Lake Success, N.Y : United Nations Commission on Human Rights, Sub Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities.
  6. Win, 2003. Karena Merasa Dilecehkan, Penghayat Kepercayaan Mengadu ke Komnas Ham, Kompas, Kamis, 10 April 2003 Halaman 7.
sumber
Prof. Dr. James Danandjaja MA.



Sabtu, 11 Januari 2014

Kemiskinan

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan,dll. kemiskinan dapat juga di katakan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah.
Dalam kamus ilmiah populer, kata “Miskin” mengandung arti tidak berharta (harta yang ada tidak mencukupi kebutuhan) atau bokek. Adapun kata “fakir” diartikan sebagai orang yang sangat miskin. Secara Etimologi makna yang terkandung yaitu bahwa kemiskinan sarat dengan masalah konsumsi. Hal ini bermula sejak masa neo-klasik di mana kemiskinan hanya dilihat dari interaksi negatif (ketidak seimbangan) antara pekerja dan upah yang diperoleh.

A. Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia
  • tahun 1976 sampai 2007.
jumlah penduduk miskin di Indonesia pada periode 1976-2007 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 penduduk miskin sekitar 54,2 juta jiwa (sekitar 44,2 juta jiwa di perdesaan, dan sekitar 10 juta jiwa di perkotaan). Angka ini pada tahun 1980 berkurang hingga menjadi sekitar 42,3 juta jiwa (sekitar 32,8 juta jiwa di perkotaan, dan sekitar 9,5 juta jiwa di perdesaan), atau berkurang sekitar 21,95 persen dari tahun 1976. Pada tahun 1990 jumlah penduduk miskin berkurang hingga menjadi sekitar 27,2 juta jiwa (sekitar 17,8 juta jiwa di perkotaan, dan sekitar 9,4 juta jiwa di perdesaan), atau berkurang sekitar 35,69 persen dari tahun 1980. Pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan hingga mencapai sekitar 34,5 juta jiwa (sekitar 24,9 juta jiwa di perkotaan, dan sekitar 9,6 juta jiwa di perdesaan). Dibandingkan dengan tahun 1990, angka ini menurun sekitar 20,87 persen. Namun, pada tahun 2002 jumlah penduduk miskin kembali meningkat hingga menjadi sekitar 38,4 juta jiwa. Sementara, pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin menurun hingga menjadi sekitar 37.17 juta jiwa. Fluktuasi jumlah penduduk miskin di Indonesia disebabkan karena terjadinya krisis ekonomi, pertambahan jumlah penduduk tiap tahun, pengaruh kebijakan pemerintah dan sebagainya.(Badan Pusat Statistik).
  • Tahun 2007–Maret 2008
Analisis tren tingkat kemiskinan antara kondisi Maret 2007 dan Maret 2008 dimaksudkan untuk mengetahui perubahan tingkat kemiskinan selama setahun terakhir. Garis kemiskinan pada periode Maret 2007-Maret 2008 mengalami peningkatan sebesar 9,56 persen, yaitu dari Rp.166.697,- per kapita per bulan pada Maret 2007 menjadi Rp.182.636,- per kapita per bulan pada Maret 2008. Hal yang sama juga terjadi di perkotaan dan di perdesaan masing-masing meningkat sebesar 9,02 persen dan 10,21 persen. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta (16,58 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,21 juta (Tabel 4.3). Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun lebih tajam dari pada daerah perkotaan. Selama periode Maret 2007-Maret 2008, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,42 juta, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,79 juta orang. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2007, sebagian besar (63,52 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2008 persentase ini hampir sama yaitu 63,47 persen.(Badan Pusat Statistik).
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemiskinan menurut para Ahli.

Setiap permasalahan timbul pasti karna ada faktor yang mengiringinya yang menyebabkan timbulnya sebuah permasalahan, begitu juga dengan masalah kemiskinan yang dihadapi oleh negara indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kemiskinan menurut Hartomo dan Aziz dalam Dadan Hudyana (2009:28-29) yaitu :
1).   Pendidikan yang Terlampau Rendah
Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan dalam kehidupannya. Keterbatasan pendidikan atau keterampilan yang dimiliki seseorang menyebabkan keterbatasan kemampuan seseorang untuk masuk dalam dunia kerja.
2).   Malas Bekerja
Adanya sikap malas (bersikap pasif atau bersandar pada nasib) menyebabkan seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak bergairah untuk bekerja.
3).   Keterbatasan Sumber Alam
Suatu masyarakat akan dilanda kemiskinan apabila sumber alamnya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Hal ini sering dikatakan masyarakat itu miskin karena sumberdaya alamnya miskin.
4).   Terbatasnya Lapangan Kerja
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal seseorang harus mampu menciptakan lapangan kerja baru sedangkan secara faktual hal tersebut sangat kecil kemungkinanya bagi masyarakat miskin karena keterbatasan modal dan keterampilan.
5).   Keterbatasan Modal
Seseorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi alat maupun bahan dalam rangka menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh penghasilan.
6).   Beban Keluarga
Seseorang yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha peningakatan pendapatan akan menimbulkan kemiskinan karena semakin banyak anggota keluarga akan semakin meningkat tuntutan atau beban untuk hidup yang harus dipenuhi.
Suryadiningrat dalam Dadan Hudayana (2009:30), juga mengemukakan bahwa kemiskinan pada hakikatnya disebabkan oleh kurangnya komitmen manusia terhadap norma dan nilai-nilai kebenaran ajaran agama, kejujuran dan keadilan. Hal ini mengakibatkan terjadinya penganiayaan manusia terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain. Penganiayaan manusia terhadap diri sendiri tercermin dari adanya :
1) keengganan bekerja dan berusaha,
2) kebodohan,
3) motivasi rendah,
4) tidak memiliki rencana jangka panjang,
5) budaya kemiskinan, dan
6) pemahaman keliru terhadap kemiskinan.
Sedangkan penganiayaan terhadap orang lain terlihat dari ketidakmampuan seseorang bekerja dan berusaha akibat :
1) ketidakpedulian orang mampu kepada orang yang memerlukan atau orang tidak mampu dan
2) kebijakan yang tidak memihak kepada orang miskin.
Kartasasmita dalam Rahmawati (2006:4) mengemukakan bahwa, kondisi kemiskinan dapat disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab, diantaranya yaitu :
1.  Rendahnya Taraf Pendidikan
Taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan meyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan seseorang untuk mencari dan memanfaatkan peluang.
2.  Rendahnya Derajat Kesehatan
Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa.
3. Terbatasnya Lapangan Kerja
Selain kondisi kemiskinan dan kesehatan yang rendah, kemiskinan juga diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran kemiskinan.
4.  Kondisi Keterisolasian
Banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan dan gerak kemajuan yang dinikmati masyarakat lainnya.
 C. Proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu :
·         penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin. Contoh dari perilaku dan pilihan adalah penggunaan keuangan tidak mengukur pemasukan.
·         penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga. Penyebab keluarga juga dapat berupa jumlah anggota keluarga yang tidak sebanding dengan pemasukan keuangan keluarga.
·         penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar. Individu atau keluarga yang mudah tergoda dengan keadaan tetangga adalah contohnya.
·         penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi. Contoh dari aksi orang lain lainnya adalah gaji atau honor yang dikendalikan oleh orang atau pihak lain. Contoh lainnya adalah perbudakan.
·         penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
·         Pelestarian Proses Kemiskinan Proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan.
·          Pola Produksi Kolonial >> Negara ekskoloni mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.
·         Adanya unsur manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
·         Kemiskinan Terjadi Karena Siklus Alam.Misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.
·         . Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan seperti, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.



Meskipun diterima luas bahwa kemiskinan dan pengangguran adalah sebagai akibat dari kemalasan, namun di Amerika Serikat (negara terkaya per kapita di dunia) misalnya memiliki jutaan masyarakat yang diistilahkan sebagai pekerja miskin; yaitu, orang yang tidak sejahtera atau rencana bantuan publik, namun masih gagal melewati atas garis kemiskinan.

D. Tanggapan utama terhadap kemiskinan adalah:
·         Bantuan kemiskinan, atau membantu secara langsung kepada orang miskin. Ini telah menjadi bagian pendekatan dari masyarakat Eropa sejak zaman pertengahan. Di Indonesia salah satunya berbentuk BLT.
·         Bantuan terhadap keadaan individu. Banyak macam kebijakan yang dijalankan untuk mengubah situasi orang miskin berdasarkan perorangan, termasuk hukuman, pendidikan, kerja sosial, pencarian kerja, dan lain-lain.
·         Persiapan bagi yang lemah. Daripada memberikan bantuan secara langsung kepada orang miskin, banyak negara sejahtera menyediakan bantuan untuk orang yang dikategorikan sebagai orang yang lebih mungkin miskin, seperti orang tua atau orang dengan ketidakmampuan, atau keadaan yang membuat orang miskin, seperti kebutuhan akan perawatan kesehatan. Persiapan bagi yang lemah juga dapat berupa pemberian pelatihan sehingga nanti yang bersangkutan dapat membuka usaha secara mandiri.

E.  KESIMPULAN.
       Permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan yang kompleks dan bersifat multidimensional. Oleh karena itu, upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara terpadu. Kemiskinan harus menjadi sebuah tujuan utama dari penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi oleh negara Indonesia, karna aspek dasar yang dapat dijadikan acuan keberhassilan pembangunan ekonomi adalah teratasinya masalah kemiskinan. Pemerintah indonesia harus terus memberdayakan dan membina masyarakat miskin untuk dapat mengelola sumber-sumber Ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya masalah kemiskinan, diantaranya, SDM yang rendah, SDA yang tidak dikelolah dengan baik dan benar, pendidikan yang rendah, tidak memiliki pengetahuan untuk mengembangkan sektor-sektor perekonomian baik itu dibidang pertanian maupun dibidang perindustrian, dan masih banyak lagi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya permasalahan kemiskinan sebagaimana yang penulis jelaskan diatas. pemerintah seharusnya lebih memperdulikkan masyarakat miskin untuk pembentulan dan tidak ada lagi terjadinya kemiskinan di negara ini.
Sumber :
·         Frances Fox Piven, Richard A. Cloward, Regulating the Poor: The Functions of Public Welfare, Vintage Books 1993
·         Jean Swanson, Poor-Bashing: The Politics of Exclusion, 2001

. Sarul Mardianto

Kamis, 09 Januari 2014

Masyarakat Pedesaan Dan Masyarakat Perkotaan

Masyakat kota sebelumnya adalah masyarakat pedesaan, dan pada akhirnya masyarakat pedesaan tersebut terbawa sifat-sifat masyarakat perkotaan dan melupakan kebiasan sebagai masyarakat pedesaan.masyarakat kota lebih berat di banding masyarakat desa, karena masyarakat kota dia lebih menampilkan sesuatu ke fashion,perilaku dan sesuatu yang lebih menonjol sedangkan masyarakat pedesaan dia hidup dengan kesederhanaan yang membuat hidupnya lebih damai. 
masyarakat perkotaan anak kecil saja sudah di beri gadget oleh orang tuanya seharusnya masa kecil itu di beri permainan yang sesuai dengan umurnya, kurangnya perhatian terhadap anaknya karena kesibukan bekerja tanpa mengenal lelah hidup di kota itu lebih keras di banding di desa. sedangkan di desa, masih banyak permainan yang sesuai umurnya, tidak bergantung pada teknologi, suasananya pun masih asri di banding di kota yang sudah tercemar polusi ,kesederhaan dan kasih sayang orang tuanya yang membuat orang desa lebih indah di banding di kota.

PENGERTIAN MASYARAKAT
        Masyarakat dapat mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam arti luas masyarakat adalah keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan sebagainya. Atau dengan kata lain kebulatan dari semua perhubungan dalam hidup bermasyarakat. Dalam arti sempit masyarakat adalah sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu, misalnya territorial, bangsa, golongan dan sebagainya.

MASYARAKAT PEDESAAN
        Masyarakat pedesaan selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan masyarakat desa di Jawa. Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan perkembangan era informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebut sudah “tidak berlaku”. Masyarakat pedesaan juga ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu perasaan setiap warga/anggota masyarakat yagn amat kuat yang hakekatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat dimanapun ia hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau anggota-anggota masyarakat, karena beranggapan sama-sama sebgai masyarakat yang saling mencintai saling menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam masyarakat.

Adapun yang menjadi ciri masyarakat desa antara lain :
1. Didalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya.
2. Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan
3. Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian
4. Sederhana
5. Menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku didaerahnya
6. Berbicara apa adanya dan lugas
7. Menghargai orang lain
8. Demokrasi dan religius
9. Mempunyai tata krama
10. Masyarakat tersebut homogen, deperti dalam hal mata pencaharian, agama, adapt istiadat, dan sebagainya

Didalam masyarakat pedesaan kita mengenal berbagai macam gejala, khususnya tentang perbedaan pendapat atau paham yang sebenarnya hal ini merupakan sebab-sebab bahwa di dalam masyarakat pedesaan penuh dengan ketegangan – ketegangan sosial. Gejala-gejala sosial yang sering diistilahkan dengan :
-          konflik
-          kontraversi
-          kompetisi

MASYARAKAT PERKOTAAN
         Masyarakat perkotaan sering disebut urban community . Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Ada beberap ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu :

1. kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa
orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. 2. Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu. Di kota – kota kehidupan keluarga sering sukar untuk disatukan , sebab perbedaan kepentingan paham politik , perbedaan agama dan sebagainya .
3. Jalan pikiran rasional yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan , menyebabkan bahwa interaksi – interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada factor kepentingan dari pada factor pribadi.
pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.
4. kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa
5. interaksi yang terjai lebih banyak terjadi berdasarkan pada factor kepentingan daripaa factor pribadi
6. pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu
7. perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.

PERBEDAAN MASYARAKAT PEDESAAN DAN PERKOTAAN
          
 Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam, Masyarakat perdesaan berhubungan kuat dengan alam, karena lokasi geografisnyadi daerah desa. Penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan dan hukum alam. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di kota yang kehidupannya “bebas” dari realitas alam.

Pekerjaan atau Mata Pencaharian, Pada umumnya mata pencaharian di daerah perdesaan adalah bertani tapi tak sedikit juga yg bermata pencaharian berdagang, sebab beberapa daerah pertanian tidak lepas dari kegiatan usaha.Sedangkan mata pencaharian di daerah perkotaan adalah perkantoran.

Ukuran Komunitas, Komunitas perdesaan biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan.
Kepadatan Penduduk, Penduduk desa kepadatannya lbih rendah bila dibandingkan dgn kepadatan penduduk kota.

Homogenitas dan Heterogenitas, Homogenitas atau persamaan ciri-ciri sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku nampak pada masyarakat perdesa bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Di kota sebaliknya penduduknya heterogen, terdiri dari orang-orang dgn macam-macam perilaku, dan juga bahasa, penduduk di kota lebih heterogen.

Pelapisan Sosial, Kelas sosial di dalam masyarakat sering nampak dalam bentuk “piramida terbalik” yaitu kelas-kelas yg tinggi berada pada posisi atas piramida, kelas menengah ada diantara kedua tingkat kelas ekstrem dari masyarakat.

Ada beberapa perbedaan pelapisan sosial yang tak resmi antara masyarakat desa dan kota:

* Pada masyarakat kota aspek kehidupannya lebih banyak system pelapisannya dibandingkan dengan di desa.
* Pada masyarakat desa kesenjangan antara kelas eksterm dalam piramida sosial tidak terlalu besar dan sebaliknya.
* Masyarakat perdesaan cenderung pada kelas tengah.
* Ketentuan kasta dan contoh perilaku.

Mobilitas Sosial, Mobilitas berkaitan dgn perpindahan yg disebabkan oleh pendidikan kota yg heterogen, terkonsentrasi

kelembagaan-kelembagaan :
> Banyak penduduk yang pindah kamar atau rumah
> Waktu yang tersedia bagi penduduk kota untuk bepergian per satuan
> Bepergian setiap hari di dalam atau di luar
> Waktu luang di kota lbih sedikit dibandingkan di daerah perdesaan Interaksi Sosial.
> Masyarakat pedesaan lebih sedikit jumlahnya
> Dalam kontak sosial berbeda secara kuantitatif maupun secara kualitatif

Pengawasan Sosial, Di kota pengawasan lebih bersifat formal, pribadi dan peraturan lbh menyangkut masalah pelanggaran.

Pola Kepemimpinan, Menentukan kepemimpinan di daerah perdesaan cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi
dari individu dibandingkan dengan kota

Standar Kehidupan, Di kota tersedia dan ada kesanggupan dalam menyediakan kebutuhan tersebut, di desa tidak demikian melainkan kesederhanaan.

Kesetiakawanan Sosial, Kesetiakawanan sosial pada masyarakat perdesaan dan perkotaan banyak ditentukan oleh masing-masing faktor yang berbeda.

Nilai dan Sistem Nilai, Nilai dan system nilai di desa dengan di kota berbeda dan dapat diamati dalam kebiasaan, cara dan norma yang berlaku

Hubungan desa dan kota, Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan terdapat hubungan yang erat, bersifat ketergantungan, karena saling membutuhkan
Kota tergantung desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan, desa juga merupakan tenaga kasar pada jenis-jenis pekerjaan tertentu di kota.
sebaliknya, kota menghasilkan barang-barang yang juga diperlukan oleh orang desa, kota juga menyediakan tenaga-tenaga yang melayani bidang-bidang jasa yg dibutuhkan oleh orang desa.

ASPEK POSITIF DAN NEGATIF

Perkembangan kota merupakan manifestasi dari pola kehidupan sosial , ekonomi , kebudayaan dan politik . Kesemuanya ini akan dicerminkan dalam komponen – komponen yang memebentuk struktur kota tersebut . Jumlah dan kualitas komponen suatu kota sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pertumbuhan kota tersebut.
Secara umum dapat dikenal bahwa suatu lingkungan perkotaan , seyogyanya mengandung 5 unsur yang meliputi :
-          Wisma : Untuk tempat berlindung terhadap alam sekelilingnya.
-          Karya : Untuk penyediaan lapangan kerja.
-          Marga : Untuk pengembangan jaringan jalan dan telekomunikasi.
-          Suka : Untuk fasilitas hiburan, rekreasi, kebudayaan, dan kesenian.
-          Penyempurnaan : Untuk fasilitas keagamaan, perkuburan, pendidikan, dan utilitas umum.

Untuk itu semua , maka fungsi dan tugas aparatur pemerintah kota harus ditingkatkan :
a)    Aparatur kota harus dapat menangani berbagai masalah yang timbul di kota . Untuk itu maka 
pengetahuan tentang administrasi kota dan perencanaan kota harus dimilikinya .

b)    Kelancaran dalam pelaksanaan pembangunan dan pengaturan tata kota harus dikerjakan dengan cepat dan tepat , agar tidak disusul dengan masalah lainnya ;

c)    Masalah keamanan kota harus dapat ditangani dengan baik sebab kalau tidak , maka kegelisahan penduduk akan menimbulkan masalah baru ;

d)    Dalam rangka pemekaran kota , harus ditingkatkan kerjasama yang baik antara para pemimpin di kota dengan para pemimpin di tingkat kabupaten tetapi juga dapat bermanfaat bagi wilayah kabupaten dan sekitarnya .

Oleh karena itu maka kebijaksanaan perencanaan dan mengembangkan kota harus dapat dilihat 
dalam kerangka pendekatan yang luas yaitu pendekatan regional . Rumusan pengembangan kota seperti itu tergambar dalam pendekatan penanganan masalah kota sebagai berikut :
1)    Menekan angka kelahiran
2)    Mengalihkan pusat pembangunan pabrik (industri) ke pinggiran kota
3)    Membendung urbanisasi
4)    Mendirikan kota satelit dimana pembukaan usaha relatif rendah
5)    Meningkatkan fungsi dan peranan kota – kota kecil atau desa – desa yang telah ada di sekitar kota besar
6)    Transmigrasi bagi warga yang miskin dan tidak mempunyai pekerjaan.
7). Menyediakan lapangan kerja bagi yang membutuhkan.


sumber by anwarabdi