Pengertian Diskriminasi
Menurut PBB,
diskriminasi diartikan sebagai “diskriminasi mencakup perilaku apa saja, yang
berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian
masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya”.
Sedangkan
Theodorson & Theodorson (1979:115-116) mengartikan diskriminasi sebagai
“…adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok,
berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas,
seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas
sosial”.
Pengertian
kedua definisi tersebut tidak jauh berbeda. Bahwa di sana ada membedakan
tindakan berdasarkan atribut-atribut tertentu. Definisi tersebut juga
menyiratkan bahwa diskriminasi bukanlah monopoli kaum dominan dan mayoritas
terhadap kaum subordinat dan minoritas. Diskriminasi dapat dilakukan oleh siapa
saja kepada siapapun juga.
Pada dasarnya
diskriminasi tidak terjadi begitu saja, akan tetapi karena adanya beberapa faktor,
antara lain:
a,Adanya
persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang kehidupan.
b.Adanya
tekanan dan intimidasi yang biasanya dilakukan oleh kelompok yang dominan
terhadap kelompok atau golongan yang lebih lemah.
c.Ketidak
berdayaan golongan miskin akan intimidasi yang mereka dapatkan membuat mereka
terus terpuruk dan menjadi korban diskriminasi.
Macam Diskriminasi yang Terjadi dalam
Keragaman
Macam – macam
diskriminasi dalam keragaman masyarakat antara lain diskriminasi terhadap:
Suku,bangsa,
ras dan gender
Agama
dan keyakinan
Ideologi
dan politik
Adat
dan Kesopanan
Kesenjangan
ekonomi
Kesenjangan
sosial
Proses terjadinya pelapisan sosial ada
dua,yaitu :
Pelapisan
sosial yang tejadi dengan sendirinya. Adapun orang-orang yang menduduki lapisan
tertentu dibentuk bukan karena kesenjangan yang disusun sebelumnya oleh
masyarakat itu,melainkan berjalan secara alamiah dengan
sendirinya.Pengakuan-pengakuan terhadap kekuasaan dan wewenang tumbuh dengan
sendirinya.
Pelapisan
sosial yang terjadi dengan sengaja ditujukan untuk mengejar tujuan
bersama.
Didalam sistem plapisan sosial ditentukan secara jelas dan egas adanya wewenang
dan kekuasaan yang diberikan kepada seseorang.
Sebagai contoh misalnya orang Tionghoa di
Indonesia bersama-sama dengan orang Arab, India, pada masa Kolonial Belanda
digolongkan sebagai golongan Timur Asing, kemudian pada-masa Kemerdekaan mereka
semuanya apabila mau mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, dan serta pada
negara R.I. dapat dianggap sebagai Warga Negara Indonesia. (lihat UUD 45, Bab
X, pasal 26, ayat 1). Namun perlakuannya terhadap mereka ada perbedaan. Bagi
keturunan Arab, karena agamanya sama dengan yang dipeluk suku bangsa mayoritas
Indonesia, maka mereka dianggap "Pri" [Pribumi] atau bahkan “Asli”,
sedangkan keturunan Tionghoa, karena agamanya pada umumnya adalah Tri Dharma
(Sam Kao), Budis, Nasrani dan lain-lain.
Keturunan India yang beragama Hindu dan
Belanda yang beragama Nasrani, dianggap “Non Pri”. Dengan stikma "Non
Pri" tersebut kedudukan mereka yang bukan “pribumi”, terutama keturunan
Tionghoa terasa sekali pendiskriminasiannya. Bahkan oleh pemerintah ORBA, tela
dikeluarkan beberapa Peraturan Presiden yang menggencet mereka, bahkan dengan
politik pembauran yang bersifat asimilasi. Sehingga sebagai etnis mereka tidak
boleh eksis.
Untuk menunjang politik yang sangat beraroma
rasis itu. Oleh Pemerintah Soeharto telah dikeluarkan beberapa Keputusan
Presiden seperti: Pelarangaran Sekolah dan Penerbitan berbahasa Cina; keputusan
Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Penggantian Nama; Instruksi
Presiden No. 14/1967, yang mengatur Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat
Keturunan Cina. Keputusan Presiden No.240/1967 mengenai Kebijakan pokok yang
menyangkut WNI keturunan Asing, serta Instruksi Presidium Kabinet No.
37/U/IN/6/1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Cina (Thung,
1999: 3-4).
Lucunya dalam era reformati (plesetan dari
istilah reformasi). Walaupun Pemerintah Presiden BJ. Habibie sudah memutuskan
membatalkan semua peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis
Tionghoa, seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia
No.26 tahun 1998; namun anehnya pada tahun 1999, ia malah memberi bintang
kehormatan Maha Putra pada dua tokoh Asimilasi dari pihak etnis Tionghoa
seperti Junus Jahja dan K. Sindhunata SA. Penghargaan ini memberi kesan bahwa
Habibie masih setuju dengan politik asimilasi dari ORBA. Isi Instruksi Presiden
No.26 tahun 1998, yang dikeluarkan pada tanggal 16 September 1998, dan
ditujukan kepada para Menteri, para pemimpin Lembaga Pemerintah Non Departemen,
para pemimpin Kesekretarian Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, dan para Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I, dan Bupati/Walikota Kota Madya, Kepala Daerah Tingkat
II. Isinya antara lain, adalah: Pertama mengenai penghentian penggunaan istilah
pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan
kebijaksanaan, perencanaan program, atau pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan; Kedua memberikan perlakuan dan layanan yang sama bagi seluruh
warga negara Indonesia, tanpa perlakuan berbeda atas dasar suku bangsa, agama,
ras maupun asal usul. Ketiga meninjau kembali, dan menyesuaikan seluruh
peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan, program, dan kegiatan yang selama
ini telah ditetapkan dan dilaksanakan, termasuk dalam pemberian layanan
perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, kesehatan,
kesempatan kerja dan penentuan gaji atau penghasilan dan hak-hak pekerjaan
lain, sesuai dengan instruksi Presiden ini; dan sebagainya.
Alasan yang merupakan rasionalisasi bagi
mereka yang mendukung politik pembauran asimilasi adalah bahwa jika orang
Tionghoa semua sudah tukar nama, bahkan masuk agama Islam, maka tidak akan ada
“masalah Cina” lagi sebagai contoh mereka tunjukan kejadian yang sudah terjadi
di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina, di kedua
negara tersebut orang Tionghoa telah masuk agama Katolik (di Filipina) dan
Budis (di Thailand). Sehingga logisnya orang Tionghoa di Indonesia harus masuk
Islam, seperti yang telah dilakukan oleh Pak Junus Jahya (Lauw Chuan Tho) yang
sejak tanggal 23 Juni 1979 secara resmi telah memeluk agama Islam. Menurut dia
orang Indonesia Tionghoa harus masuk Islam, untuk mencegah terulangnya terjadi
pembunuh massal (massacre) terhadap mereka di Indonesia, seperti pada permulaan
Kemerdekaan R.I dan yang terakhir pada tgl. 13 -15 Mei 1998. Salah seorang
eksponen kalangan muda tentang politik asimilasi adalah Soe Hok Gie (adik
kandung Dr. Arief Budiman), waktu saya tanya mengapa ia tidak tukar nama?
Jawabnya adalah "Pak politik asimilasi ini sudah diselewengkan oleh para
Jenderal, sehingga akan menyusahkan orang keturunan Tionghoa!".
Memang dalam kenyataan akibat dari politik
asimilasi tersebut, orang keturunan Tionghoa oleh para anti Cina malah lebih
didiskriminasikan, Buktinya setelah tukar nama, orang keturunan Tionghoa masih
tetap dianggap "Cina". Penyebabnya adalah stereotip yang tetap
melekat pada mereka, bahkan diperkuat dengan hukum, untuk didiskrirninasi,
seperti diperas, jika hendak mengurus surat di kantor-kantor pemerintah. Mereka
didiskriminasi jika mau masuk ke sekolah negeri. Di Universitas negeri mereka
yang lulus UMPTN tidak diterima, setelah terlihat pada pas fotonya, karena raut
mukanya berciri ras mongoloid Asia Timur. Demikian juga jika mereka mau masuk
ke AKABRI. Setelah masa Reformasi perlakuan semacam itu masih terus berlaku
sampai sekarang. Memang sifat-sifat stereotip pada orang Tionghoa, sukar sekali
dihapuskan, terutama bagi pejabat-pejabat yang hendak memeras. Karena bagi
mereka orang Tionghoa itu kaya, sehingga dapat dijadikan sumber keuangan
mereka, yang sebagai pegawai negeri gaji bulanannya memang sangat tidak
memadai, untuk dapat hidup sebagai layaknya manusia dari negara yang menjunjung
tinggi HAM.
Walaupun sejak pemerintahan Habibie, orang
dari suku bangsa Tionghoa jika mau sekolah, berdagang, membuat paspor, KTP,
masih ada yang diminta mempertunjukan Surat Bukti Kewarganegaran Indonesia
(SBKI). Sebagai contoh saya adalah orang keturunan Tionghoa yang sampai pada
masa Reformasi adalah penganut politik pembauran yang asimilasi, tetapi sejak
mengalami kejadian yang bersifat shock therapy, saya telah beralih ke politik
pembauran yang bersifat integrasi yang sinergis.
Kejadiannya adalah pada hari Kamis 21 Januari
1999, jam 15.00, saya telah mendapat undangan dari Ibu Dirjen Kebudayaan,
Depdikbud. Prof, Dr. Edi Sedyawati, untuk turut serta dalam sebuah talk show di
studio TV RCTI. Temanya adalah hendak mendukung politik pembauran asimilasai
dalam rangka memperingati 47 tahun pengesahan "Piagam Asimilasi",
yang dicetuskan di Bandungan, Ambarawa, Jawa Tengah pada tanggal 15 Juni 1952
(Tempo, 1986: 351-353). Kejadiannya adalah demikian, setelah didandani, dan
berkumpul di ruang tunggu di sebelah studio shooting, tiba-tiba masuk Pak Fadel
Muhammad, tokoh GOLKAR, sambil tangan kiri bertolak pinggang dan tangang kanan
menunjuk-nunjuk ke langit, ia berkata dengan lantang: “Memang Cina-Cina itu
rakus-rakus!!!” Mendengar itu jantung saya terkesiap, lalu saya tanya: “Cina
yang mana Pak Fadel???” Jawabnya: “Yah Edy Tansil dan Liem Sioe Liong!” Rupanya
Pak Fadel tidak tahu bahwa di ruang itu ada orang Cinanya (Ya saya ini). Segera
Ibu Dirjen Kebudayaan mencoba menengahinya. Ujarnya: “Pak Fadel! Pak James
Danandjaja adalah keturunan Cina!” katanya. Mendengar itu Pak Fadel menjadi
salah tingkah. Untuk menghilangkan suasana yang tak mengenakkan itu, saya lalu
bertanya pada Pak Fadel: “Pak Fadel suku bangsa apa?” Jawabannya dengan suara
kurang mantap: “saya orang Arab!”. Lanjut saya: “Tak mengapa Pak! Kita semua
kan orang Indonesia”. Demikianlah pengalaman saya dalam hubungan antar kelompok
[intergroup relation]. Bukan di antara minoritas (Tionghoa) dan mayoritas
(Jawa), tetapi dengan sesama minoritas, yang kebetulan minoritas juga yakni
Arab. Kejadian ini dapat menggambarkan dengan jelas bahwa Pak Fadel yang
seharusnya juga tergolong minoritas, tidak merasa atau sedikitnya tidak
mengakui bahwa orang Arab itu juga tergolong minoritas, karena sebagai etnis
beragama Islam, ia merasa mayoritas, jadi tergolongnya “pribumi” sehingga dapat
menekan orang Indonesia etnis Tionghoa yang memang kedudukan sosial politik
adalah tergolong minoritas, yang “non pribumi” apa lagi menurut ia semua orang
Tionghoa rakus-rakus seperti Liem Sioe Liong (Sudono Salim) dan Edi Tansil.
Fadel Muhammad merasa kuat kedudukannya,
karena etnisnya kebetulan tidak termasuk konglomerat yang bermasalah. la
sebenarnya sangat terkabur, karena sebagai penggede GOLKAR, ia merasa tidak
tersentuh oleh hukum. Buktinya memang demikian, karena kini walaupun ia sudah
dinyatakan usahanya faillite [bangkrut] oleh Jaksa Agung, namun ia masih dapat
diangkat menjadi gubernur provinsi Gorontalo. Bukan main! Aneh bin Ajaib
keadaan di negara kita ini, karena ternyata hal ini masih dapat terjadi dalam
jaman Reformasi ini.
Partisipasi saya dalam talk show saya di RCTI,
yang tadinya berniat mendukung politik pembauran dari tipe asimilasi, akhirnya
berbalik menjadi mendukung politik pembauran yang bertipe integrasi dari
sinergi. Sejak talk show di RCTI tersebut, saya telah mendapat banyak telpon,
salah satunya adalah dari mantan murid tari Balet saya dahulu, bernama Kamil
Setyadi, yang pada waktu itu menjabat sebagai sekretaris Paguyuban Sosial Marga
Tionghoa (PSMTI) dengan maksud agar saya bersedia membantu paguyuban mereka.
Dalam rangka reformasi ini saya bersama dengan
beberapa pemuka Tionghoa dari segala agama diundang oleh "Badan Koordinasi
Masalah Cina (BKMC) yang dibawahi Bakin (Badan Koordinasi Inteligen Negara),
untuk dimintai pendapat mengenai izin mempertunjukan Barongsai (Singa) dan
Liong (naga) di muka umum pada tahun 1999 itu. Kami semua sangat setuju apabila
izin tersebut dikeluarkan, namun karena keadaan keamanan dianggap belum
mendukung, maka pelaksanaannya baru pada tahun depan saja. Namun ternyata
masyarakat Indonesia, yang terdiri dari suku-suku bangsa lainnya merasa sudah
tidak sabar, sehingga DR. Rahayu Supangga Direktur dari Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Surakarta telah mengajak para mahasiswanya untuk mengarak
Lian-Iiong dan Barongsai keliling kota Solo, tanpa ada gangguan dari rakyat
"Pribumi", yang diantisipasi masih ada yang anti Tionghoa. Sebaliknya
usaha berani ini mendapat sambutan meriah dari segenap warga kota Solo dari
segala suku bangsa. Yang hadir dalam pertemuan itu antara lain adalah
tokoh-tokoh asimilasi, seperti MayJen TNI (Pur) Soenarso dan BrigJen Pol (Pur)
Sukisman, seorang Sinolog Mantan Rektor Universitas Dharma Persada, Tokoh Agama
Budha Siti Hartati Murdaya, tokoh Muslim Tionghoa H. Junus Jahja, seorang
pendukung politik asimilasi yang konsisten.
Selain itu juga wakil-wakil dari instansi
pemerintah, HANKAM dan lain-lain. Pada kesempatan itu BrigJen (Purn) Sukisman
menyatakan ekskiusnya pada suku bangsa Tionghoa dengan dikeluarkannya peraturan
pemerintah, yang pada masa Reformasi ini dapat digolongkan sebagai pelanggaran
Hak Asasi Manusia, karena bersifat rasialis. Menurut beliau dikeluarkannya
peraturan-peraturan tersebut, bukan karena anti Cina melainkan karena merasa
"eman [kasih sayang]" kepada saudara-saudara keturunan Cina, karena
mereka dalam sejarah jika ada kekacauan sosial politik, selalu dijadikan
kambing hitam dan dibunuh.
Semoga dengan dikeluarkannya
peraturan-peraturan tersebut golongan keturunan Tionghoa sudah menyatu padu
dengan suku-suku bangsa di mana mereka berdiam. Mendengar pernyataan itu,
komentar saya adalah: "Terima kasih banyak Pak Jenderal, namun akibat
perasaan eman Bapak telah menyengsaraan orang Indonesia-Tionghoa, karena mereka
sejak itu menjadi terpuruk. Mereka dalam prakteknya makin menjadi obyek
pemerasan. Jikalau berusaha, harus mendapat "perlindungan" para oknum
pejabat tinggi sipil maupun militer. Mereka selalu dijadikan kudatunggangan
yang dapat disuruh berusaha sehingga dapat memberi sumbangan kepada para
"pelindung"nya, namun jika terjadi kekacauan sosial politik mereka
dapat dengan mudah dijadikan kambing hitam, untuk dihukum dicampak ke pulau
Nusa Kambangan seperti nasibnya beberapa konglomerat suku bangsa Tionghoa. Dan
para penunggangnya dapat terus survive dalam jaman Reformati ini.
Walaupun diskriminasi terhadap pemeluk agama
tertentu, sejak masa reformasi ini telah mulai lenyap, tetapi tidak terjadi
pada semua agama minoritas. Sejak masa reformasi ini agama minoritas yang telah
memperoleh pengakuan sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia adalah
agama Konghucu, sehingga salah satu hari rayanya yang dihubungkan dengan agama
tersebut, yakni Imlek sejak tahun 2003, telah disahkan oleh Presiden
Megawati Soekarnoputri menjadi Hari Raya Nasional. Namun di lain pihak ada
tuntutan dari agama Minoritas orang Jawa (Kejawen) yang belum terpenuhi aspirasinya
beragama.
Dalam Koran KOMPAS , Kamis 10 April 2003 ,
Halaman 7, ada pernyataan bahwa umat agama tersebut merasa dilecehkan dan
dianggap seolah bukan warga Negara Indonesia. Untuk itu Masyarakat Peduli Hak
Sipil dan Budaya bersama puluhan aktivis penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan
Yang Maha Esa (YME), Rabu 9 April 2003 telah mengadu ke Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia. Mereka diterima Wakil ketua Komnas HAM Salahudin Wahid. Dalam
pernyataan tertulis yang dibacakan wakil mereka Dewi Kanti, disebutkan bahwa para
penghayat bukan hanya menghadapi sejumlah piranti hukum, yang melecehkan hak
sipil dan budaya, tetapi juga menghadapi pejabat Negara yang menganggap para
penghayat seolah bukan sebagai WNI. Sejak lahir para penghayat berhadapan
dengan tindakan diskriminatif. Anak-anak pasangan penghayat tidak bisa mendapat
surat kenal lahir atau akta kelahiran, dengan alasan pernikahan mereka dianggap
tidak sah. Padahal mereka telah melangsungkan pernikahan sesuai dengan adat dan
kepercayaan masing-masing. Dinikahkan dengan penuh kasih, direstui orang tua,
handai taulan, keluarga dan saksi mereka. Para penghayat juga kesulitan
mendapatkan kartu tanda penduduk (KTP), karena tidak mau mengisi kolom agama
yang resmi diakui negara. Contoh terakhir perlakuan buruk terjadi atas para
penghayat Ajaran Karuhun Urang di Cigujur, Kuningan, Jawa Barat, yang merasa
dihina dalam film berjudul Kafir.
Dewi menyesalkan munculnya Surat Keputusan
Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang menganulir UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada Mukadinahnya disebutkan berlaku untuk
seluruh warga Negara Indonesia. Dalam SKB tersebut, "Dinyatakan tidak
berlaku bagi masyarakat Penghayat Kepercayaan." Kelompok Penghayat
mendesak Komnas HAM berjuang menghapus semua peraturan yang bersifat
diskriminatif. Selain itu juga mendorong terciptanya sebuah UU Catatan Sipil
yang menjamin Penghayat menjalankan perkawinan dan mendapatkan hak-hak sipil
dan budaya sesuai dengan penghayatannya.
Menghadapi haI ini, Salahuddin Wahid yang
saudara kandung Abdurrahman Wahid itu, mengatakan akan memperjuangkan
kepentingan mereka: Mereka berhak mendapat hak sebagai WNI dengan status sama
dengan yang lain. Dan lagi apa sih untungnya mendiskriminasikan mereka? Bisa
dibayangkan getirnya kehidupan anak-anak mereka, yang dianggap anak di luar
nikah. Selanjutnya Wahid berpendapat terminology kafir tidak dikenal dalam
hidup bernegara. Ini cuma terminologi beragama. Sentimen beragama seperti ini
tidak sehat dalam hidup bernegara.
Setelah bertemu dengan beberapa anggota Komnas
HAM yang lain, Wahid mengatakan, "Tampaknya sebagian besar anggota Komnas
HAM, sepakat memperjuangkan nasib mereka, terutama yang langsung berkaitan
dengan unsur HAM mereka. Tapi semua masih tergantung keputusan rapat pimpinan
atau rapat pleno Komnas HAM. Mudah-mudahan harapan saya tidak meleset."
Tugas anggota Komnas HAM, masih banyak antara
lain adalah mengungkapkan beberapa tragedi kekerasan yang dilakukan bangsa kita
terhadap sesamanya. Yang terpenting dan yang masih merupakan misteri adalah
Tragedi Kerusuhan 13-15 Mei 1998, di mana lebih dari 1000 orang menjadi korban
penganiayaan, pembunuhan, perkosaan dan pembakaran hidup-hidup. Walaupun
kelihatannya motifnya adalah rasialis karena banyak korban adalah orang
Indonesia suku bangsa Tionghoa, tetapi korban kekejaman selain mereka, ada
ratusan korban dari suku-suku bangsa lain, yang diprovokasi untuk menjarah di
mal Yogya, yang terletak di Kali Malang Jakarta Timur, setelah mereka masuk
untuk menjarah isinya, mereka ini kemudian oleh orang-orang yang bertubuh tegap
dan potongan rambut cepak, bersepatu lars kemudian dikunci dari luar gedung,
dan dibakarnya hidup-hidup.
Kasihan orang terjebak kejahatan ini yang
terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak kemudian dijadikan tumbal oleh entah siapa.
Karena merasa malu sebagai penjarah, tidak ada keluarganya yang berani
membelanya. Menurut ibu Ita F. Nadia, yang pada malam tanggal 13 Mei 1998, atas
ajakan Romo Sandiawan seorang pendeta Katolik, telah mengadakan peninjauan di
tempat terjadinya pembunuhan dan perkosaan tersebut. Menurut pengakuan ibu Ita
pada seminar Peringatan 5 tahun Peristiswa Mei 1998 di restoran Nelayan, di
Jalan Karang Bolong, Ancol Barat. Jakarta Utara, yang diadakan oleh Paguyuban
Sosial Marga Tionghoa.
Berdasarkan pengamatan dengan mata kepalanya
sendiri, ia telah melihat ada dua sosok mayat dari dua remaja perempuan
Tionghoa, yang ditutupi dengan kertas plastik hitam. Waktu ia singkap tutup
tersebut terlihat dua mayat tak berbusana dilumuri darah, dengan
putting-putting susu mereka dipotong dengan gunting. Jadi berlainan dengan
keterangan para pejabat pemerintahan Habibie (termasuk menteri urusan wanita
Tuti Alawiyah), yang mendatakan tidak ada permerkosaan, karena buktinya tidak
ada wanita Tionghoa yang bersedia untuk menjadi saksi untuk ditayangkan di
televisi. Sesungguhnya perkosaan dan pembunuhan terhadap perempuan Indonesia
etnis tionghoa. ltu benar-benar ada, jadi bukan isapan jempoI saja.
Hasil penelitian di tempat itu kemudian oleh
Komisi NasionaI Anti Kekerasan Terhadap Perempuan telah diserahkan yang
berwajib, dalam bentuk Dokumen Laporan No.3, tetapi dihilangkan entah oIeh
siapa. Bersamaan dengan itu mereka juga ke PBB di New York untuk melaporkan
masalah pelanggaran HAM yang dahsyat serta menggiriskan itu. Tetapi di dalam negeri
selama 5 tahun ini, masih dianggap tidak ada oleh yang berkuasa.
Menurut Salahudin Wahid , yang juga hadir
dalam Seminar Peringatan itu, mengatakan bahwa Komnas HAM sedang berusaha
meneliti untuk mengetahui dengan pasti apakah peristiwa tragedi tersebut memang
betul-betul terjadi, siapa yang bertanggungjawab, siapa saja korbannya, dan apa
yang harus dilakukan agar hal itu tidak terulang Iagi di masa depan.
Selanjutnya menurut Wahid, memang masalah ini adalah masalah pelik, karena
terkait juga dengan pergulatan politik di Indonesia. Dan Komnas HAM, harus
hati-hati agar tidak terseret ke dalam kancah politik tersebut, namun
menurutnya hal itu perlu diungkapkan, karena berdasarkan fakta-fakta. Yang
mutlak harus diketahui, karena jika tidak, kebenaran tentang “kesalahan” masa
lalu, maka kesalahan tersebut sangat mungkin terulang kembali. Tentunya bangsa
ini seperti keledai yang terperosok dalam lubang yang sama (Salahudin Wahid
dalam KOMPAS, Rabu 14 Mei 2003, HIm. 4).
Masalah ini akan terpecahkan apabila mendapat
dukungan dari DPR. Sebagai jawaban atas pertanyaan Salahudin Wahid apakah DPR
dapat memberi tanggapan yang positif, karena beberapa tahun yang lalu DPR telah
menyatakan pada Peristiwa Mei 1998 tidak ada pelanggaran HAM. Sebagai tanggapan
pertanyaan tersebut Alvin Lie, anggota DPR dari fraksi Reformasi, mengatakan
bahwa selama anggota DPR yang sekarang masih bercokol di sana, masalah ini akan
tetap dipetieskan.
Peraturan-peraturan bersifat diskriminasi yang
diwariskan mengenai suku bangsa Tionghoa dari ORDE BARU masih banyak, dan sukar
untuk dapat dihapuskan, karena menurut Menteri Kehakiman dan HAM, kedudukan
peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah-pemerintah masa Reformasi,
kedudukannya, kalah dengan yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru. Akibatnya
dapat diremehkan oleh pejabat-pejabat golongan “Hitam” untuk tetap memeras
orang-orang yang memerlukan jasa dari mereka. Semua ini dapat terus berlaku,
karena sebagai suku bangsa yang minoritas, orang keturunan Tionghoa, belum
mempunyai kedudukan sosial, politik, dan hukum yang mantap dalam struktur
sosial masyarakat Indonesia (lihat Suparlan,1999). Oleh karenanya para pemimpin
mereka harus berjuang terus untuk menghapus peraturan-peraturan yang
diskriminatif itu, sehingga mereka tidak dijadikan kambing hitam, apabila
terjadi pergolakan sosial, politik maupun ekonomi, seperti masa-masa lalu.
Sebenarnya kepedihan ini bukan saja dirasakan
oleh suku bangsa Tionghoa saja tetapi juga oleh etnis-etnis yang lain, walaupun
dalam gradasi yang lebih kurang berat. Mereka itu adalah sub suku bangsa Bali,
seperti orang Trunyan, yang agama “asli” yang bukan bersifat Hindu Majapahit,
selalu mendapat tekanan dari suku bangsa Bali Hindu, yang mayoritas itu.
Demikian juga etnis Batak, juga dilecehi, karena anak-anak mereka waktu hendak
mendaftarkan kelahiran anaknya di kantor Catatan Sipil, tidak boleh mencantum
nama marganya.
Daftar Kepustakaan
- Suparlan, Parsudi, 1999. Masyarakat Majemuk
dan Hubungan antar Suku Bangsa, Masalah Cina. (I. Wibowo ed.). Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, bekerja sama dengan Pusat Studi Cina.
Hlm, 149- 173.
- Tempo, 1986. Apa dan Siapa: Sejumlah Orang
Indonesia 1985-1986. Jakarta: Percetakan PT Temprint.
- Theodorson, George A, and Achilles G.
Theodorson, 1979. A Modern Dictionary of Sociology. New York, Hagerstown,
San Francisco, London: Barnes & Noble Books.
- Thung Ju Lan, 1999. Tinjauan Kepustakaan
tentang Etnis Cina di Indonesia, Retrospeksi dan Rekonteskstualisasi
Masalah Cina (I. Wibowo, ed.). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, bekerjasama
dengan Pusat Studi Cina. Hlm. 3-23.
- United Nations Commission on Human Rights,
1949. The Main Types and Causes of Discrimination, Lake Success, N.Y :
United Nations Commission on Human Rights, Sub Commission on Prevention of
Discrimination and Protection of Minorities.
- Win, 2003. Karena Merasa Dilecehkan, Penghayat
Kepercayaan Mengadu ke Komnas Ham, Kompas, Kamis, 10 April 2003 Halaman 7.
sumber
Prof. Dr. James Danandjaja MA.